Senin, 02 April 2012

Perdagangan Karbon


PENDAHULUAN

Perdagangan karbon adalah pembayaran kepada pihak yang mampu memproses karbon dari pemerintah, atau adalah kegiatan kompensasi terhadap hutan Negara berkembang yang dapat memproses karbon untuk mengurangi emisi rumah kaca Global Warming).
Perdagangan karbon juga merupakan mekanisme berbasis pasar untuk membantu membatasi peningkatan CO2 di atmosfer. Pasar perdagangan karbon sedang mengalami perkembangan yang membuat pembeli dan penjual kredit karbon sejajar dalam peraturan perdangangan yang sudah distandardisasi.
Negara maju dalam kegiatan industrinya menghasilkan emisi CO2 dalam jumlah yang besar. Hal ini mengakibatkan terjadinya efek rumah kaca dengan tingkat yang sangat tinggi yang berdampak pada perubahan iklim secara global (Global Waming). Penumpukan emisi ini tentunya diakibatkan oleh produksi emisi yang tinggi dan kurangnya hutan sebagai pemroses CO2 tersebut. Negara industri tidak mungkin menghancurkan perindustriannya untuk menanam hutan kembali,  jadi sebagai tanggung jawabnya untuk membayar emisi yang sudah diproduksi terhadap Negara lain yang bersedia untuk memproses karbon senilai karbon yang sudah diproses oleh Negara maju tersebut yang disebut perdagangan karbon. Indonesia sebagai Negara berkembang patut untuk turut mengatasi permasalahan dunia tersebut.

Dalam ranah kebijakan dan politik lingkungan, telah lama disadari perlunya dipikirkan sebuah sitem  yang menjanjikan sistem insentif yang menarik secara ekonomi bagi siapa saja (masyarakat, pemerintah, swasta) yang berinisiatif untuk mempertahankan atau sebisanya memperluas kawasan hutan. Ekspektasinya sangat sederhana yakni, makin luas sebuah kawasan hutan maka makin tinggi jumlah atau intensitas tegakan (pohon) yang ada di dalamnya, sehinga makin besar pula daya-serap atau “daya-tangkap”nya terhadap karbon bebas yang terlanjur terhambur di alam karena proses pembakaran fossil-fuel. Dengan sistem insentif yang pantas tersebut, maka siapapun diharapkan akan termotivasi untuk melakukan penyelamatan hutan, meningkatkan stok karbon di hutan, dan mengurangi pemanasan global. Insentif tersebut selain memotivasi juga dianggap sebagai mekanisme yang fair dan berkeadilan.
Pemberian insentif kepada siapa saja yang berinisiatif menyelamatkan hutan (dan  karenanya menambah akumulasi stok karbon di bumi) menjadi makin perlu dilakukan mengingat, makin hari luasan hutan makin berkurang. Di Indonesia saja dalam 10 tahun terakhir ini tercatat laju deforestasinya (pembabatan hutan) mencapai 1.3 juta ha per tahun.  Apabila kandungan karbon hutan di Indonesia diperhitungkan sekitar 150 ton C per ha, maka proses deforestasi tersebut setara dengan dihasilkannya laju emisi (historis) sekitar 715 juta ton CO2 per tahun.  Artinya, aktivitas pembongkaran stok karbon dari hutan melalui deforestasi secepat itu setiap tahunnya, akan setara dengan aktivitas yang menghasilkan pengotoran atmosfer setara dengan CO2 sejumlah 715 juta ton per tahun. Jumlah setara GRK tersebut akan semakin bertambah besar bila emisi GRK  lain diperhitungkan seperti NOx dan CH4, sebagai akibat perubahan ekosistem hutan ke non hutan (Prasetyo, 1998, Saito, 1999 dan Prasetyo, 1999).  Jumlah tersebut sangat signifikan untuk menyumbangkan pemanasan global, sehingga tidak ada alasan lain kecuali menghentikan atau paling tidak mengurangi laju deforestasi di Indonesia melalui berbagai cara (Boer, 2008).
Jadi secara umum kesadaran untuk memproses CO2 sudah ada sejak dulu. Namun dalam pengupayaannya pemerintah belum menemukan metode yang tepat. Dengan adanya kegiatan perdagangan karbon, diharapkan dapat menarik minat masyarakat untuk melindungi hutan desa dan dapat memanfaatkanya untuk dikomersialkan proses CO2nya.








PEMBAHASAN

Dalam perdagangan karbon dunia Indonesia turut sebagai Negara berkembang yang harus berpastisipasi mengembangkan hutan untuk mengurangi emisi CO2. Namun saat ini kurangnya informasi yang diketahui oleh masyarakat menyebabkan masih terus maraknya penebangan hutan. Dibuktikan dengan lajunya pembabatan hutan di Indonesia mencapai 1,3 juta hektar setiap tahun dalam 10 tahun terakhir. Hal ini tentunya merupakan kerugian besar karena kurangnya informasi yang diperoleh oleh masyarakat. Padahal dengan memberikan kompensasi kepada pihak yang bersedia berpartisipasi dalam memproses emisi CO2 dapat meningkatkan minat minat masyarakat terhadap prlindungan hutan.
Pemecahannya adalah yang sekarang harus mengurangi pertama-tama negara-negara yang sudah maju. Ukuran pengurangan ini misalnya 5%, berdasarkan pengeluaran emisi yang dicatat tahun 1990. Ada beberapa cara, salah satunya dengan berdagang. Misalnya dengan membuat proyek teknologi bersih, yang ternyata bisa mengurangi emisi negara tersebut hingga 10%. Kelebihan 5% inilah yang diperdagangkan atau ditawarkan ke negara-negara lain untuk membelinya. Bisa juga dengan menabung hak emisi dan yang terakhir dengan perdagangan berdasarkan proyek. Misalnya suatu negara harus mengurangi emisi 5%. Hal itu tidak dilakukan di dalam negeri, tapi dengan mengekspor teknologi bersih misalnya ke negara duani ketiga. Proyek teknologi bersih ini dihitung sebagai kredit sang pemberi dana.
Untuk tingkat pemerintah daerah khususnya bidang kehutanan, harus menggalakan penyuluhan terhadap perdagangan karbon agar penebangan hutan tidak terus meningkat. Dan memberkan kompensasi terhadap pihak yang bersedia memproses karbon, sehingga dapat menarik minat masyarakat untuk melindungi hutan. Selain itu juga meningkatkan visa Negara dari kompensasi Negara maju. Karena para penghasil karbon (Negara Kaju) diwajibkan secara hukum untuk menyeimbangkan emisi yang mereka keluarkan melalui mekanisime sekuestrasi karbon.



PENUTUP

Simpulannya adalah walaupun sebagai Negara berkembang, Indonesia memiliki kewajiban untuk turut menyikapi permasalahan perdagangan karbon. Bahkan Indonesia dapat membuka lapangan pekerjaan kepada pihak yang bersedia turut  dalam perlindungan hutan, yang tentunya dapat meningkatkan devisa Negara karena dapat menyalurkan emisi CO2 kepada dunia. Jadi diperlukan manajemenisasi yang tepat dan efektif dari pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Rekomendasi saya adalah seharusnya peluang ini dimanfaatkan oleh pemerintah daerah untuk bekerjasama dengan pihak perguruan tinggi, LSM, serta lembaga lain yang dapat menkomersilkan kemampuan hutan. Terutama terhadap pengembangan hutan domestik di daerah pedesaan, karena lahan dapat digunakan dalam jangka panjang, sumberdaya manusia tersedia, dan kondisi lingkungan masih sangat mendukung. Untuk daerah perkotaan sulit untuk memenuhi tiga aspek tersebut, sehingga cukup dengan pemanfaatan taman kota dan medium jalan sebagai pengurang emisi CO2. Intinya pengembangan hutan desa untuk perdagangan karbon.

1 komentar:

  1. Rebat FBS TERBESAR – Dapatkan pengembalian rebat atau komisi
    hingga 70% dari setiap transaksi yang anda lakukan baik loss maupun
    profit,bergabung sekarang juga dengan kami
    trading forex fbsasian.com
    -----------------
    Kelebihan Broker Forex FBS
    1. FBS MEMBERIKAN BONUS DEPOSIT HINGGA 100% SETIAP DEPOSIT ANDA
    2. FBS MEMBERIKAN BONUS 5 USD HADIAH PEMBUKAAN AKUN
    3. SPREAD FBS 0 UNTUK AKUN ZERO SPREAD
    4. GARANSI KEHILANGAN DANA DEPOSIT HINGGA 100%
    5. DEPOSIT DAN PENARIKAN DANA MELALUI BANL LOKAL
    Indonesia dan banyak lagi yang lainya
    Buka akun anda di fbsasian.com
    -----------------
    Jika membutuhkan bantuan hubungi kami melalui :
    Tlp : 085364558922
    BBM : fbs2009

    BalasHapus