Rabu, 04 Juli 2012

Mekanisme Perlindungan Tanaman Oleh Fungi Biokontrol

Mekanisme Perlindungan Tanaman Oleh Fungi Biokontrol
            Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. merupakan jamur (fungi) filament (benang) dengan anggota spesies yang banyak digunakan dalam perlindungan tanaman alami sebagai fungi biokontrol.  Sebagian besar dilaporkan sebagai pelindung tanaman terhadap penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur patogen (Harman, 2006), tetapi ada juga yang telah dilaporkan dapat melindungi tanaman terhadap nematoda (cacing kecil) (Sharon et al.,2009), bakteri (Watanabe et al., 2005) dan virus (Hanson dan Howell, 2004).
            Berbagai hama dan penyakit tanaman yang dapat dikendalikan oleh Trichoderma sp. dan Gliocladium sp.  merupakan hama dan penyakit yang banyak menyerang tanaman hortikultura dan perkebunan penting.  Sebagai contoh, berbagai galur dari spesies-spesies tertentu Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. dapat melindungi tanaman kapas, tembakau dan timun terhadap Rhisoctonia solani (Hanson dan Howell, 2004, Lu et al., 2004), strawberi terhadap Botrytis cinerea (Sanz et al., 2005), jagung terhadap Pythium ultimum dan Colletotrichum graminicola (Harman et al., 2004a, Harman et al., 2004b, Harman, 2006), kelapa sawit terhadap Ganoderma boninense (Susanto et al., 2005), padi terhadap bakteri Burkholderia glumae, Burkholderia plantarii, dan Acidovorax spp. (Watanabe et al., 2005), pisang terhadap Fusarium sp. (Nugroho et al.,2002), bayam dan kangkung terhadap Albugo candida dan Albugo ipmoeae-panduratae (Marlina et al., 2006, Marlina, 2007, Ifriadi, 2005).
            Kemampuan Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. untuk melindungi tanaman melibatkan beberapa mekanisme yang terkait dengan sifat biokimiawi spesies tersebut. Semua galur Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. yang merupakan fungi biokontrol efektif, akan tumbuh semakin baik di sekitar perakaran tanaman yang sehat, sehingga terjadi simbiose mutualistis antara fungi biokontrol tersebut dengan tanaman yang dilindunginya. Oleh karena itu, mekanisme perlindungan tanaman oleh  Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. tidak hanya melibatkan serangan terhadap patogen pengganggu, tetapi juga melibatkan produksi beberapa metabolit sekunder yang berfungsi meningkatkan pertumbuhan tanaman dan akar, dan memacu mekanisme pertahanan tanaman itu sendiri (Shoresh & Harman, 2008, Conteras-Cornejo et al., 2009). 
            Mekanisme penyerangan terhadap patogen tanaman antara lain adalah melalui proses mikoparasitisme, yang melibatkan produksi berbagai enzim (biokatalis) hidrolitik (pemecah berbagai senyawa polimer) (Lorito et al.,1993, Brunner et al., 2003, Brunner et al., 2005, Suarez et al.,2004), dan sekresi (produksi dan pengeluaran) senyawa antifungi, antibakteri dan antinematoda (Vinale et al.,2006,  Dong et al., 2005, Degenkolb et al., 2008).  Selain itu, fungi biokontrol juga menghasilkan hormon pertumbuhan tanaman, dan asam-asam organik yang membantu  pelarutan fosfat dan mineral, sehingga mudah diserap tanaman (Benitez et al. , 2004, Zadworny et al., 2008). Kerja sinergis antara fungi biokontrol dengan tanaman inang yang dilindunginya, terlihat dari kemampuan galur-galur Trichoderma biokontrol untuk menginduksi tanaman memproduksi senyawa-senyawa perlindungan diri.  Ibarat antibodi bagi hewan mamalia, tanaman pun memproduksi senyawa defensif untuk melindungi diri berupa fitoaleksin dan terpenoid. Hanson dan Howell (2004) menunjukkan bahwa endoxilanase, suatu enzim hidrolitik,  yang dihasilkan T. virens mampu menginduksi peningkatan produksi fitoaleksin dan terpenoid oleh tanaman.  Berbeda dengan patogen tanaman yang juga menginduksi peningkatan produksi senyawa defensif tanaman tersebut, endoxilanase dan senyawa penginduksi lainnya yang dihasilkan T. virens tidak menyebabkan nekrosis, atau kematian tanaman sel. Jadi efek endoxilanase dari T. virens terhadap tanaman inangnya, ibarat efek vaksin terhadap mamalia. Penelitian terbaru dari Shoresh et al. (2010) memperkuat temuan Hanson dan Howell tersebut, yakni kemampuan fungi biokontrol untuk memicu tanaman memproduksi berbagai senyawa, yang membantu tanaman tersebut tidak saja mengatasi gangguan patogen, tetapi juga mengatasi berbagai stress lingkungan.
            Mikoparasitisme sebagai salah satu mekanisme penyerangan fungi biokontrol terhadap fungi patogen, dipengaruhi oleh kemampuan fungi biokontrol menghasilkan enzim hidrolitik (biokatalis pemecah berbagai polimer). Salah satu golongan enzim hidrolitik yang dianggap cukup penting peranannya pada proses mikoparasitisme dari beberapa fungi patogen adalah  enzim-enzim kitinolitik, yang terdiri dari kitinase (Lu et al., 2004, Viterbo et al., 2001, Viterbo et al., 2002, Steyaert et al., 2004, Seidl, 2008). Kitinase adalah nama untuk golongan enzim yang mampu menghidrolisis ikatan Beta-1,4 pada kitin dan oligomer kitin. 
            Kitin merupakan komponen penting dari dinding sel beberapa fungi patogen. Produksi kitinase oleh fungi biokontrol antara lain berfungsi untuk merusak kitin dinding sel fungi patogen. Mekanisme mikoparasitisme digambarkan Lu et al. (2004) dengan menggunakan sistem pelapor green fluorescent protein (GFP), yang dikonyugasi pada kitinase. Dengan GFP, ditunjukkan bagaimana kitinase akan diproduksi fungi biokontrol sebagai respon terhadap keberadaan fungi patogen di lingkungannya.  Kitinase yang diproduksi fungi biokontrol kemudian akan berdifusi ke dinding sel fungi patogen, dan mematahkan atau merusak dinding sel fungi patogen tersebut.  Proses ini akan diikuti pelilitan fungi biokontrol pada miselia (benang sel) fungi patogen, dan sekresi senyawa peptida kecil bernama peptaibol. Peptaibol akan melubangi membran sel fungi patogen (Elad et al., 1983).
            Penelitian isolat empat galur fungi biokontrol Trichoderma dan Gliocladium dari tanah perkebunan jeruk dan coklat di Riau, yakni T. asperellum T.N.J63 dan T.N.C52, serta Gliocladium sp. T.N.C59 dan T.N.C73, menunjukkan mekanisme perlindungan yang terkait erat dengan enzim yang dihasilkan mikroba tersebut. Isolasi fungi biokontrol tersebut adalah berdasarkan kemampuannya menghasilkan kitinase (Nugroho et al.,2000, Nugroho et al., 2003). Ternyata keempat fungi tersebut mampu menghambat pertumbuhan suatu fungi patogen yang menyerang pisang dan yang dinding selnya mengandung kitin, yaitu Fusarium sp. (Nugroho et al., 2002).  Gambar 1 menunjukkan bagaimana suatu koloni Fusarium sp. di“makan” oleh T. asperellum T.N.C59.
 Keempat fungi biokontrol isolat Riau memiliki kemampuan yang berbeda dalam menginhibisi Phytophtora sp. maupun Albugo sp., dua fungi patogen lain yang dinding selnya tidak mengandung kitin. Tiga dari keempat fungi biokontrol tersebut mampu menghambat Phytophtora sp.  dan Albugo sp .Dalam hal menghambat Phytophtora sp. dan Albuga sp., jelas bahwa kitinase tidak memegang peranan penting, tetapi terdapat mekanisme lain, yang berkaitan dengan kemampuan fungi biokontrol tersebut menghasilkan senyawa metabolit sekunder  lainnya yang bersifat antifungi. Usaha isolasi metabolit sekunder tersebut mengindikasikan bahwa baik T. asperellum T.N.C52 (semula diidentifikasi sebagai T. harzianum T.N.C52), maupun Gliocladium T.N.C73 menghasilkan metabolit sekunder yang memiliki kemampuan antibakteri, antifungi dan antikhamir (Nugroho et al.,2006, Jasril et al.,2006).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar