Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya
cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan
kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Disamping itu kakao juga berperan
dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pada tahun
2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan
bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di
Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke
tiga sub sektor perkebunan setelah karet dan kelapa sawit dengan nilai sebesar
US $ 701 juta.
Perkebunan kakao Indonesia
mengalami perkembangan pesat sejak awal tahun 1980-an dan pada tahun 2002,
areal perkebunan kakao Indonesia
tercatat seluas 914.051 ha dimana sebagian besar (87,4%) dikelola oleh rakyat
dan selebihnya 6,0% perkebunan besar negara serta 6,7% perkebunan besar swasta.
Jenis tanaman kakao yang diusahakan sebagian besar adalah jenis kakao lindak
dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan
Sulawesi Tengah. Disamping itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh
perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Keberhasilan perluasan areal tersebut telah memberikan hasil nyata
bagi peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia di kancah perkakaoan
dunia. Indonesia berhasil menempatkan
diri sebagai produsen kakao terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading (Cote d’Ivoire) pada tahun 2002,
walaupun kembali tergeser ke posisi ketiga oleh Ghana pada tahun 2003. Tergesernya
posisi Indonesia tersebut
salah satunya disebabkan oleh makin mengganasnya serangan hama PBK. Di samping itu, perkakaoan Indonesia
dihadapkan pada beberapa permasalahan antara lain: mutu produk yang masih
rendah dan masih belum optimalnya pengembangan produk hilir kakao. Hal ini
menjadi suatu tantangan sekaligus peluang bagi para investor untuk
mengembangkan usaha dan meraih nilai tambah yang lebih besar dari agribisnis
kakao.
Indonesia sebenarnya berpotensi untuk menjadi produsen utama kakao dunia,
apabila berbagai permasalahan utama yang dihadapi perkebunan kakao dapat
diatasi dan agribisnis kakao dikembangkan dan dikelola secara baik. Indonesia masih
memiliki lahan potensial yang cukup besar untuk pengembangan kakao yaitu lebih
dari 6,2 juta ha terutama di Irian Jaya, Kalimantan Timur, Sulawesi Tangah
Maluku dan Sulawesi Tenggara. Disamping itu kebun yang telah di bangun masih
berpeluang untuk ditingkatkan produktivitasnya karena produktivitas rata-rata
saat ini kurang dari 50% potensinya. Di sisi lain situasi perkakaoan dunia
beberapa tahun terakhir sering mengalami defisit, sehingga harga kakao dunia
stabil pada tingkat yang tinggi. Kondisi ini merupakan suatu peluang yang baik
untuk segera dimanfaatkan. Upaya peningkatan produksi kakao mempunyai arti yang
stratigis karena pasar ekspor biji kakao Indonesia masih sangat terbuka dan
pasar domestik masih belum tergarap.
Dengan kondisi harga kakao dunia yang relatif stabil dan cukup
tinggi maka perluasan areal perkebunan kakao Indonesia diperkirakan akan terus
berlanjut dan hal ini perlu mendapat dukungan agar kebun yang berhasil dibangun
dapat memberikan produktivitas yang tinggi. Melalui berbagai upaya perbaikan
dan perluasan maka areal perkebunan kakao Indonesia pada tahun 2010
diperkirakan mencapai 1,1 juta ha dan diharapkan mampu menghasilkan produksi
730 ribu ton/tahun biji kakao. Pada tahun 2025, sasaran untuk menjadi produsen
utama kakao dunia bisa menjadi kenyataan karena pada tahun tersebut total areal
perkebunan kakao Indonesia
diperkirakan mencapai 1,35 juta ha dan mampu menghasilkan 1,3 juta ton/tahun biji
kakao.
Untuk mencapai sasaran produksi tersebut diperlukan investasi
sebesar Rp 16,72 triliun dan dukungan berbagai kebijakan untuk menciptakan
iklim usaha yang kondusif. Dana investasi tersebut sebagian besar bersumber
dari masyarakat karena pengembangan kakao selama ini umumnya dilakukan secara
swadaya oleh petani. Dana pemerintah diharapkan dapat berperan dalam memberikan
pelayanan yang baik dan dukungan fasilitas yang tidak bisa ditanggulangi petani
seperti biaya penyuluhan dan bimbingan, pembangunan sarana dan prasaran jalan
dan telekomunikasi, dukungan gerakan pengendalian hama PBK secara nasional,
dukungan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan industri hilir.
Beberapa kebijakan pemerintah yang sangat dibutuhkan dalam
pengembangan agribisnis kakao 5 sampai 20 tahun ke depan antara lain:
Penghapusan PPN dan berbagai pungutan, aktif mengatasi hambatan ekspor dan
melakukan lobi untuk menghapuskan potangan harga, mendukung upaya pengendalian
hama PBK dan perbaikan mutu produksi serta menyediakan fasilitas pendukungnya
secara memadai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar