Mekanisme Perlindungan
Tanaman Oleh Fungi Biokontrol
Trichoderma
sp. dan Gliocladium
sp. merupakan jamur (fungi) filament (benang) dengan anggota spesies yang
banyak digunakan dalam perlindungan tanaman alami sebagai fungi
biokontrol. Sebagian besar dilaporkan
sebagai pelindung tanaman terhadap penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur
patogen (Harman, 2006), tetapi ada juga yang telah dilaporkan dapat melindungi
tanaman terhadap nematoda (cacing kecil) (Sharon et al.,2009), bakteri (Watanabe et
al., 2005) dan virus (Hanson dan Howell, 2004).
Berbagai hama dan penyakit tanaman
yang dapat dikendalikan oleh Trichoderma
sp. dan Gliocladium sp. merupakan hama dan penyakit yang banyak
menyerang tanaman hortikultura dan perkebunan penting. Sebagai contoh, berbagai galur dari
spesies-spesies tertentu Trichoderma sp. dan
Gliocladium sp. dapat melindungi
tanaman kapas, tembakau dan timun terhadap Rhisoctonia
solani (Hanson dan Howell, 2004, Lu et
al., 2004), strawberi terhadap Botrytis
cinerea (Sanz et al., 2005),
jagung terhadap Pythium ultimum dan Colletotrichum graminicola (Harman et al., 2004a, Harman et al., 2004b, Harman, 2006), kelapa
sawit terhadap Ganoderma boninense (Susanto
et al., 2005), padi terhadap bakteri Burkholderia glumae, Burkholderia plantarii,
dan Acidovorax spp. (Watanabe et al., 2005), pisang terhadap Fusarium sp. (Nugroho et al.,2002), bayam dan kangkung
terhadap Albugo candida dan Albugo ipmoeae-panduratae (Marlina et al., 2006, Marlina, 2007, Ifriadi,
2005).
Kemampuan Trichoderma sp. dan Gliocladium
sp. untuk melindungi tanaman melibatkan beberapa mekanisme yang terkait
dengan sifat biokimiawi spesies tersebut. Semua galur Trichoderma sp. dan Gliocladium
sp. yang merupakan fungi biokontrol efektif, akan tumbuh semakin baik di
sekitar perakaran tanaman yang sehat, sehingga terjadi simbiose mutualistis
antara fungi biokontrol tersebut dengan tanaman yang dilindunginya. Oleh karena
itu, mekanisme perlindungan tanaman oleh
Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. tidak hanya melibatkan
serangan terhadap patogen pengganggu, tetapi juga melibatkan produksi beberapa
metabolit sekunder yang berfungsi meningkatkan pertumbuhan tanaman dan akar,
dan memacu mekanisme pertahanan tanaman itu sendiri (Shoresh & Harman,
2008, Conteras-Cornejo et al.,
2009).
Mekanisme penyerangan terhadap
patogen tanaman antara lain adalah melalui proses mikoparasitisme, yang
melibatkan produksi berbagai enzim (biokatalis) hidrolitik (pemecah berbagai
senyawa polimer) (Lorito et al.,1993,
Brunner et al., 2003, Brunner et al., 2005, Suarez et al.,2004), dan sekresi (produksi dan
pengeluaran) senyawa antifungi, antibakteri dan antinematoda (Vinale et al.,2006, Dong et
al., 2005, Degenkolb et al., 2008). Selain itu, fungi biokontrol juga
menghasilkan hormon pertumbuhan tanaman, dan asam-asam organik yang membantu pelarutan fosfat dan mineral, sehingga mudah
diserap tanaman (Benitez et al. , 2004,
Zadworny et al., 2008). Kerja
sinergis antara fungi biokontrol dengan tanaman inang yang dilindunginya,
terlihat dari kemampuan galur-galur Trichoderma
biokontrol untuk menginduksi tanaman memproduksi senyawa-senyawa
perlindungan diri. Ibarat antibodi bagi
hewan mamalia, tanaman pun memproduksi senyawa defensif untuk melindungi diri
berupa fitoaleksin dan terpenoid. Hanson dan Howell (2004) menunjukkan bahwa
endoxilanase, suatu enzim hidrolitik,
yang dihasilkan T. virens mampu
menginduksi peningkatan produksi fitoaleksin dan terpenoid oleh tanaman. Berbeda dengan patogen tanaman yang juga
menginduksi peningkatan produksi senyawa defensif tanaman tersebut, endoxilanase
dan senyawa penginduksi lainnya yang dihasilkan T. virens tidak menyebabkan nekrosis, atau kematian tanaman sel.
Jadi efek endoxilanase dari T. virens terhadap
tanaman inangnya, ibarat efek vaksin terhadap mamalia. Penelitian terbaru dari
Shoresh et al. (2010) memperkuat
temuan Hanson dan Howell tersebut, yakni kemampuan fungi biokontrol untuk
memicu tanaman memproduksi berbagai senyawa, yang membantu tanaman tersebut
tidak saja mengatasi gangguan patogen, tetapi juga mengatasi berbagai stress
lingkungan.
Mikoparasitisme sebagai salah satu
mekanisme penyerangan fungi biokontrol terhadap fungi patogen, dipengaruhi oleh
kemampuan fungi biokontrol menghasilkan enzim hidrolitik (biokatalis pemecah
berbagai polimer). Salah satu golongan enzim hidrolitik yang dianggap cukup
penting peranannya pada proses mikoparasitisme dari beberapa fungi patogen
adalah enzim-enzim kitinolitik, yang
terdiri dari kitinase (Lu et al., 2004,
Viterbo et al., 2001, Viterbo et al., 2002, Steyaert et al., 2004, Seidl, 2008). Kitinase
adalah nama untuk golongan enzim yang mampu menghidrolisis ikatan Beta-1,4 pada
kitin dan oligomer kitin.
Kitin merupakan komponen penting
dari dinding sel beberapa fungi patogen. Produksi kitinase oleh fungi
biokontrol antara lain berfungsi untuk merusak kitin dinding sel fungi patogen.
Mekanisme mikoparasitisme digambarkan Lu et
al. (2004) dengan menggunakan sistem pelapor green fluorescent protein (GFP), yang dikonyugasi pada kitinase.
Dengan GFP, ditunjukkan bagaimana kitinase akan diproduksi fungi biokontrol
sebagai respon terhadap keberadaan fungi patogen di lingkungannya. Kitinase yang diproduksi fungi biokontrol
kemudian akan berdifusi ke dinding sel fungi patogen, dan mematahkan atau
merusak dinding sel fungi patogen tersebut.
Proses ini akan diikuti pelilitan fungi biokontrol pada miselia (benang
sel) fungi patogen, dan sekresi senyawa peptida kecil bernama peptaibol.
Peptaibol akan melubangi membran sel fungi patogen (Elad et al., 1983).
Penelitian isolat empat galur fungi
biokontrol Trichoderma dan Gliocladium dari tanah perkebunan jeruk
dan coklat di Riau, yakni T. asperellum T.N.J63
dan T.N.C52, serta Gliocladium sp. T.N.C59
dan T.N.C73, menunjukkan mekanisme perlindungan yang terkait erat dengan enzim
yang dihasilkan mikroba tersebut. Isolasi fungi biokontrol tersebut adalah
berdasarkan kemampuannya menghasilkan kitinase (Nugroho et al.,2000, Nugroho et al., 2003).
Ternyata keempat fungi tersebut mampu menghambat pertumbuhan suatu fungi
patogen yang menyerang pisang dan yang dinding selnya mengandung kitin, yaitu Fusarium sp. (Nugroho et al., 2002). Gambar 1 menunjukkan bagaimana suatu koloni Fusarium sp. di“makan” oleh T. asperellum T.N.C59.
Keempat fungi biokontrol isolat Riau memiliki
kemampuan yang berbeda dalam menginhibisi Phytophtora
sp. maupun Albugo sp., dua fungi
patogen lain yang dinding selnya tidak mengandung kitin. Tiga dari keempat
fungi biokontrol tersebut mampu menghambat Phytophtora
sp. dan Albugo sp .Dalam hal
menghambat Phytophtora sp. dan Albuga sp., jelas bahwa kitinase tidak
memegang peranan penting, tetapi terdapat mekanisme lain, yang berkaitan dengan
kemampuan fungi biokontrol tersebut menghasilkan senyawa metabolit
sekunder lainnya yang bersifat
antifungi. Usaha isolasi metabolit sekunder tersebut mengindikasikan bahwa baik
T. asperellum T.N.C52 (semula
diidentifikasi sebagai T. harzianum T.N.C52),
maupun Gliocladium T.N.C73
menghasilkan metabolit sekunder yang memiliki kemampuan antibakteri, antifungi
dan antikhamir (Nugroho et al.,2006,
Jasril et al.,2006).