Sabtu, 12 Mei 2012

Hama Lalat Liriomyza huidobrensis pada Tanaman Kentang



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Sejarah Singkat Perkembangan Hama
Salah satu jenis hama yang sering menyerang tanaman holtikultura khususnya tanaman kentang  Solanum tuberosum L adalah Lalat Liriomyza huidobrensis. Invasi Liriomyza huidobrensis ke dalam ekosistem sayuran di Indonesia telah menambah beban ekonomi para petani kentang khusunya dan petani sayuran umumnya.
Hama yang diduga berasal dari Kalifornia, yang kemudian menyebar ke Amerika Selatan. Pada awalnya Liriomyza huidobrensis bukan hama penting karena populasinya selalu dapat dikendalikan oleh musuh alaminya. Namun pada awal tahun 1970 lalat ini berubah menjadi sangat merugikan akibat musuh alaminya banyak terbunuh oleh insektisida. Di Indonesia hama ini pertama kali ditemukan tahun 1994 di daerah Cisarua Bogor. Setahun kemudian menyebar ke dataran tinggi penghasil sayuran di Jawa dan Sumatra, sejak tahun 1998 telah ditemukan pula di Sulawesi Selatan.
Liriomyza huidoberensi, menyebabkan kerusakan dengan cara menggorok daun. Kehilangan hasil akibat serangan hama ini dapat mencapai 75 % pada beberapa tanaman (seperti kentang dan buncis) bahkan dapat menyebabkan kerusakan total pada kentang (Helda Obari, 2001).
Pada daun nampak bintik-bintik cokelat sebagai akibat tusukan ovipositor lalat betina saat menghisap cairan sel daun tanaman dan meletakan telur di dalam jaringan daun. Kerusakan selanjutnya adalah terlihatnya lubang kerokan dalam daun yang disebabkan oleh larva. Pada serangan parah daun tampak berwarna merah kecoklatan. Akibatnya seluruh pertanaman hancur.
1.2 Produksi dari Inang
Tanaman kentang (Solanum tuberosum Linn.) berasal dari daerah subtropika, yaitu dataran tinggi Andes Amerika Utara. Daerah yang cocok untuk budi daya kentang adalah dataran tinggi atau pegunungan dengan ketinggian 1.000-1.300 meter di atas permukaan laut, curah hujan 1.500 mm per tahun, suhu rata-rata harian 18-21oC, serta kelembaban udara 80-90 persen.
Dibandingkan dengan produksi kentang di Eropa yang rata-ratanya mencapai 25,5 ton per hektar, produksi kentang di Indonesia masih sangat rendah. Rata-rata hanya 9,4 ton per hektar.
1.3 Peranan Serangga
Pada umumnya Lalat Liriomyza huidobrensis merupakan hama dari tanaman kentang. Karena dari beberapa stadia berpotensi menimbulkan kerusakan dari tanaman kentang. Hal ini disebabkan karena lalat tersebut termasuk ke dalam herbivora yaitu organisme pemakan tumbuhan, sehingga pada perkembangannya lalat tersebut dapat berpotensi mejadi hama.  Peran lain dari lalat tersebut adalah sebagai inang parasitoid yaitu agent hayati yang digunakan untuk mengendalikan polulasi suatun organisme tertentu.
1.4 Habitat Umum
Pada umumnya habitat dari Lalat Liriomyza huidobrensis yaitu pada dataran tinggi berkisar antara 900 – 1200 m diatas permukaan air lain. Karena lalat tersebut merupakan hama dari tanaman kentang jenis Solanaceae yang dapat tumbuh pada dataran tinggi.



BAB II
ISI
2.1 Morfologi dan Biologi
Klasifikasi  Hama ini mempunyai,nama Lokal : Hama penggorok daun,Nama Internasional           : Leaf miner, Kelas  : Insekta,Ordo : Diptera, Family : Agromyzidae, Genus  : Liriomyza,Spesies  : Liriomyza huidobrensis.
Ø  Morfologi hama
Lalat L. huidobrensis berukuran panjang 1,7 – 2,3 mm.  Sebagian besar tubuhnya berwarna hitam mengkilap, kecuali skutelum dan bagian samping toraks serta bagian tengah kepala berwarna kuning.  Telur berwarna putih bening, berukuran 0,28 mm x 0,15 mm.  Larva berwarna putih susu atau putih kekuningan, dan yang sudah berusia lanjut berukuran 3,5 mm.  Puparium berwarna kuning-keemasan hingga coklat-kekuningan, berukuran 2,5 mm.
Pada tanaman kentang, lama stadium telur berlangsung 2 – 4 hari, stadium larva 6 – 12 hari, dan stadium pupa 9 – 12 hari.  Imago betina mampu hidup selama 6 – 14 hari, dan imago jantan 3 – 9 hari.  Perkawinan terjadi sehari setelah imago keluar dari pupa, dan pada hari berikutnya imago mulai meletakkan telur.  Jumlah telur yang diletakkan oleh betina selama hidupnya berkisar 50 – 300 butir, dengan rerata 160 butir.  Siklus hidup lalat L. huidobrensis pada tanaman kentang berkisar 22 – 25 hari.
Lalat betina menusuk permukaan atas atau bawah daun dengan alat peletak telurnya (ovipositor).  Lalat betina dan jantan kemudian makan cairan daun yang keluar dari tusukan tadi.  Penusukan juga dilakukan oleh lalat betina pada saat menyisipkan telurnya dalam jaringan daun.
Larva yang baru keluar dari telur segera mengorok jaringan mesofil daun, dan tinggal dalam liang korokan selama hidupnya.  Korokan ini makin melebar dengan makin besarnya ukuran larva.  Volume jaringan daun yang dapat dimakan oleh larva instar-3 sebanyak 600 kali lipat lebih banyak dari pada larva instar-1.  Larva instar-3 yang telah berumur lanjut kemudian keluar dari liang korokan untuk berkepompong.  Umumnya L. huidobrensis berkepompong dalam tanah.  Pada ketimun dan kacang merah puparium sering ditemukan pada permukaan bawah daun, bahkan pada bawang merah sering ditemukan menempel pada permukaan bagian dalam rongga daun bawang.
Ø  Biologi hama
Hama pengorok daun yang menyerang tanaman kentang termasuk dalam spesies Liriomyza huidobrensis. Serangga dewasa berupa lalat kecil berukuran sekitar 2 mm, fase imago betina 10 hari dan jantan 6 hari. Telur berukuran 0,1- 0,2 mm, berbentuk ginjal, diletakkan pada bagian epidermis daun. Larva berukuran 2,5 mm, tidak mempunyai kepala atau kaki. Pupa terbentuk di dalam tanah. Larva akan merusak tanaman dengan cara menggorok daun sehingga yang tinggal bagian epidermisnya saja. Serangga dewasa merusak dengan menusukkan ovipositornya saat meletakan telur dan mengisap cairan daun.
2.2 Siklus Hidup
Hama pengorok daun/ hama orek-orek/ hama gerandong disebabkan oleh lalat Liriomyza sp. Setelah lalat dewasa meletakkan telur pada daun dengan cara menusukkan ovipositornya, telur tersebut akan menetas dalam 3-5 hari. Telur menetas menjadi larva dan langsung mengorok bagian mesofil (bagian dalam) daun. Larva terus memakan mesovil daun sambil berjalan maju sehingga meninggalkan bekas gerekan berupa garis-garis yang berkelok-kelok pada daun tanaman. 7-12 hari larva akan menetas setelah mengalami 3 kali instar dan akan berubah menjadi pupa. Dalam 3- 6 hari pupa (kepongpong) akan menjadi lalat dewasa. Kalau kita lihat dari siklus hidup lalat pengorok daun dapat kita ketahui bahwa hanya vase larvalah yang menjadi hama pada tanaman
2.3 Inang
Liriomyza huidobrensis merupakan hama yang bersifat polifag yang menyerang tanaman sayuran dari famili Solanaceae, Cruciferae, Cucurbitaceae, Leguminoceae, Liliaceae, Umbeliferae,Chenopodiaceae, Amaranthaceae, dan Compositae. Selain sayuran juga menyerang tanaman hias seperti gerbera, krisan dan berbagai gulma seperti babadotan, sawi tanah, senggang, bayam liar dan sejenisnya.
2.4 Faktor – Faktor Perkembangan Hama
Faktor – faktor yang mempengaruhi perkemabgan lalat Liriomyza huidobrensis adalah faktor biotik dan abiotik. Beberapa faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.    Faktor Biotik adalah faktor hidup yang mempengaruhi perkembangan lalat tersebut termasuk musuh alami yang dapat mengendalikan hama. Beberapa musuh alami tersebut diantaranya :
1.   Hemiptarsenus varicorni
H. varicornis (Hymenoptera : Eulophidae) merupakan parasitoid penting pada hama Liriomyza huidobrensis. Parasitoid tersebut dapat di temukan di seluruh areal pertanamzn kentang yang terserang L. huidobrensis. Tingkat parasitasi H. varicornis terhadap L. huidobrensis pada tanaman kentang, kacang-kacangan, seledri, tomat dan caisin rata-rata adalah 37,33%; 40,63%; 35,71%; 24,69% dan 31,68%. Nisbah kelamin antara jantan dan betina adalah 1,5 : 1 (Setiawati dan Suprihatno, 2000).
2.   Opius sp
Opius sp. merupakan parasitoid penting hama L. huidobrensis. Telur berbentuk lonjong, dengan salah satu bagian ujungnya sedikit lebih membengkak dibandingkan dengan ujung yang lain. Siklus hidupnya berkisar antara 13-59 hari. Masa telur, larva dan pupa masing-masing 2, 6, dan 6 hari. Satu ekor betina mampu menghasilkan telur sebanyak 49-187 butir. Instar yang paling cocok untuk perkembangan parasitoid Opius sp., adalah instar ke-3. Pada instar tersebut masa perkembangan parasitoid lebih singkat dan keturunan yang dihasilkan lebih banyak dengan proposi betina yang lebih tinggi. Nisbah kelamin jantan dan betina adalah 1:1 (Rustam et a.l, 2002. dalam A.S. Duriat et al., 2006)
b.    Faktor abiotik
Faktor abiotik yang paling berpengaruh terhadap perkembangan Lalat Liriomyza huidobrensis adalah curah hujan. Hal ini disebabkan karena siklus hidup dari lalat tersebut berkembang pada tanah terutama pupa. Apabila curah hujan tinggi, maka air akan tergenang dan menyebabkan pupa hanyut. Sehingga lalat tidak dapat berproduksi secara optimal dan dapat menggangu perkembangannya.
2.5 Pengendalian Hama
1.    Kultur teknis
Cara ini dilakukan dengan menerapkan budidaya tanaman sehat yang meliputi :
-         Penggunaan varietas yang tahan
-         Sanitasi yaitu dengan membersihkan gulma
-         Pemupukan berimbang
-         Menimbun bagian-bagian tanaman yang terserang
2.    Mekanis
  • Pemangkasan daun-daun yang terserang dan daun bagian bawah yang telah tua.
  • Larva dikumpulkan dari sekitar tanaman yang rusak kemudian dimusnahkan.
3.    Biologis
Musuh alami yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama penggorok daun pada kentanng antara lain :
  1. Hemiptarsenus varicorni
H. varicornis (Hymenoptera : Eulophidae) merupakan parasitoid penting pada hama Liriomyza huidobrensis. Parasitoid tersebut dapat di temukan di seluruh areal pertanamzn kentang yang terserang L. huidobrensis. Tingkat parasitasi H. varicornis terhadap L. huidobrensis pada tanaman kentang, kacang-kacangan, seledri, tomat dan caisin rata-rata adalah 37,33%; 40,63%; 35,71%; 24,69% dan 31,68%. Nisbah kelamin antara jantan dan betina adalah 1,5 : 1 (Setiawati dan Suprihatno, 2000).
Siklus hidup H. varicornis berkisar antara 12-16 hari. Masa telur, larva dan pupa masing-masing 1-2 hari, 5-6 hari, dan 6-8 hari. Masa hidup betina berkisar antara 88-22 hari. Satu ekor betina mampu menghasilkan telur sebanyak 24-42 butir (Hindrayani dan Rauf, 2002. dalam A.S. Duriat et al. 2006).
Hemiptarsenus varicornis (Girault) merupakan ektoparasitoid idiobion larva yang ditemukan hampir di setiap daerah serangan L. huidobrensis dan L. sativae di Indonesia. Tingkat fekunditas betina dari parasitoid ini di Laboratorium cukup tinggi yaitu rata-rata 51,7 butir dengan lama hidup imago betina sekitar 10 sampai 35 hari. Hasil survei di beberapa lokasi di Indonesia menunjukan tingkat parasitisasinya di lapangan cukup tinggi. Tingkat parasitisasi tersebut dipengaruhi oleh tanaman inang dari Liriomyza spp. dan teknologi budidaya yang dilakukan. Upaya pemanfaatan parasitoid ini sebagai pengendali hayati hama pengorok daun dari genus Liriomyza dapat dilakukan dengan upaya konservasi melalui pengaturan pola tanam dan teknologi pertanian ramah lingkungan.
  1. Opius sp
Opius sp. merupakan parasitoid penting hama L. huidobrensis. Telur berbentuk lonjong, dengan salah satu bagian ujungnya sedikit lebih membengkak dibandingkan dengan ujung yang lain. Siklus hidupnya berkisar antara 13-59 hari. Masa telur, larva dan pupa masing-masing 2, 6, dan 6 hari. Satu ekor betina mampu menghasilkan telur sebanyak 49-187 butir. Instar yang paling cocok untuk perkembangan parasitoid Opius sp., adalah instar ke-3. Pada instar tersebut masa perkembangan parasitoid lebih singkat dan keturunan yang dihasilkan lebih banyak dengan proposi betina yang lebih tinggi. Nisbah kelamin jantan dan betina adalah 1:1 (Rustam et a.l, 2002. dalam A.S. Duriat et al., 2006)
Ciri-ciri Opius sp adalah sebagai berikut:
• Tubuh kecil berwarna orange coklat dengan antenna panjang
• Periode kepompong 7-9 hari
• Parasit dewasa hidup 3-4 hari, Setiap larva memarasit 1 ekor larva inang
(Tengkano dan Soehardjan, 1985).


4.    Kimia
Sebelum aplikasi insektisida dilakukan pemantauan OPT dan aplikasinya apabila diperlukan. Pestisida yang telah terdaftar dan diizinkan Menteri Pertanian untuk OPT gerbera belum ada, namun demikian untuk sementara dapat menggunakan insektisida seperti insektisida Neem azal T/S Azadirachtin 1 % (Baso et al., 2000 dalam A.S Duriat et al., 2006) atau Trigad 75 WP, Agrimec 18 EC (Novartis, 1998 dalam A.S. Duriat et al., 2006).

5.    Karantina
Tidak membawa bibit dari daerah endemik ke daerah lainnya. Liriomyza huidobrensis merupakan hama baru pada tanaman kentang. Hama ini pertama kali dilaporkan menyerang tanaman kentang di Puncak, Jawa Barat pada tahun 1994 dan diduga telah resisten terhadap berbagai jenis insektisida dari golongan organofosfat, karbamat, dan piretroid sintetik. Upaya pengendalian hama tersebut diarahkan pada program pengendalian hama terpadu (PHT). Dalam program tersebut penggunaan insektisida hanya dilakukan apabila populasi hama sudah mencapai ambang pengendalian dan jenis insektisida yang digunakan harus selektif.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.: 698/kpts/tp.120/8/1998 Tentang Izin Pemasukan Beberapa Jenis Parasitoid Dari Hawaii Ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Memberikan izin kepada Pusat Kajian Pengendalian Hama Terpadu, Institut Pertanian Bogor untuk memasukkan 5 (lima) jenis parasitoid dari Hawaii untuk mengendalikan hama Liriomyza – huidobrensis melalui Bandar Udara Soekarno – Hatta, Jakarta.
Jenis-jenis parasitoid dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Diglyphus-begini, ektoparasitoid larva;
2. Diglyphus-intermedius, ektoparasitoid larva;
3. Chrysocaris-oscinidus, endoparasitoid larva-pupa;
4. Ganaspidium-utilis, endoparasitoid larva-pupa;dan
5. Halticoptera-circulus, endoparasitoid larva-pupa.
6.    Pengendalian Alternatif
Memasang perangkap lalat. Pemasangan yellow sticky trap dengan membentangkan kain kuning (lebar 0,9 m x panjang sesuai kebutuhan atau 7 m, untuk setiap lima bedengan memanjang) berperekat di atas tajuk tanaman kentang (Baso et al. 2000). Goyangkan pada tanaman membuat lalat dewasa beterbangan dan terperangkap pada kain kuning

KESIMPULAN
1.    Hama Liriomyza huidobrensis merupakan salah satu hama penting pada tanaman kentang. PAda serangan parah L. huidobrensis bisa menyebabkan seluruh pertanaman hancur dengan daun tanaman tampak berwarna merah kecoklatan. Untuk gejala awal dapat menimbulkan bintik-bintik coklat akibat tusuka ovipositor. Selain itu terlihat lubang kerokan dalam dau yang disebabkan oleh larva. Untuk pengendalian dai L. huidobrensis dapat memanfaatkan musuh alami seperti H. varicornis atau Opius sp. ataupun dengan pengendalian lainnya baik secara mekanis, kultur teknis, biologis, kimia dan karantina.
Sumber :
1.    Anonim. Penggorok daun (leafminer) Liriomyza sp. (On-line). http://ditlin.hortikultura.deptan.go.id/pot_tanaman_hias/gerbera/penggorok_daun. diakses tanggal 9 September 2008.
2.    Anonim. Protocol For Diagnosis of quarantine Organisme. (On-line). http://www.CSI.gov.uk. diakses tanggal 9 September 2008
3.    Duriat, A.S., O. Gunawan dan N. Gunaeni. 2006. Penerapan Teknologi PHT pada Tanaman Kentang. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Bandung.
4.    Obari, Helda. 2001. Peranan Tanaman Inang terhadap Parasitod dari Liriomyza spp, Hemiptarsensus varicurnis (Hymenopteri, Eulopidae). (On-line). http://www.hpt-unlam.com/HeldaAGOSCINTAE.pdf. diakses tanggal 12 September 2008.

Selasa, 01 Mei 2012

SISTEM TAKSONOMI TANAH


TAKSONOMI TANAH



1.1 RIWAYAT
            Sistem Taksonomi Tanah yang dulu dikenal dengan istilah “A Comprehensive System of Soil Classification 7 th Approximation”  diperkenalkan pertama kali pada tahun 1960 dalam Konggres Tanah Internasional ke-7 di hadison (Wisconsin) Amerika Serikat oleh Dr. Guy D Smith. Sistem tersebut disebut Comprehensive system karena (diharapkan) dapat digunakan seluruh tanah di dunia, untuk berbagai bidang ilmu yang berhubungan dengan tanah. Disebut 7 th Approximation karena sistem tersebut dibuat dengan beberapa kali perbaikan dan ini adalah perbaikan yang ke-7. First Approximation dimulai pada tahun 1951. Sampai pada 2nd Approximation naskahnya hanya diedarkan terbatas dalam lingkungan ahli-ahli tanah di Amerika. Berdasarkan atas tanggapan dan saran-saran para ahli tersebut kemudian disusun perbaikan-perbaikan berikutnya. Mulai dari 2nd Approximation naskah diedarkan lebih luas baik di Amerika Serikat maupun ke negara-negara di luar Amerika. Di samping itu di Amerika dilakukan pula uji coba terhadap sistim tersebut dalam kegunaannya untuk survey tanah. Dengan menampung ke dalam sitim ini semua saran dan pendapat dari ahli-ahli tanah berbagai negara yang masing-masing mempunyai pengetahuan dan pengalaman terhadap jenis tanah yang berlainan, maka diharapkan sistim ini dapat memenuhi kebutuhan klasifikasi tanah seluruh dunia.
            Taksonomi Tanah bukan merupakan perbaikan yang terakhir, tetapi hanya merupakan pendekatan (approximation) untuk mendapatkan tanggapan dan kritik dan untuk di uji lebih lanjut.
            Sejak tahun 1960 beberapa supplement terhadap 7th Approximation telah diterbitkan. Supplement bulan Maret 1967 memuat semua perubahan yang dilakukan sejak tahun 1960 kecuali untuk histosol yang baru dikemukakan dalam supplement bulan September 1968. Seluruh sistem tersebut dengan perubahan-perubahannya segera akan diterbitkan sebagai 8th Approximation (Dijkerman, 1968). Sistem 7th Approximation digunakan untuk survey tanah Amerika pada tahun 1965. Ini adalah merupakan sistem ke-4 yang digunakan untuk survey tanah negeri tersebut dalam 67 tahun terakhir. Sistem pertama yang digunakan adalah sistim whitney (1909), kemudian Marbut (1927) dan Baldwin, Kellog dan Thorp (1938). Yang terakhir ini kemudian diperbaiki oleh Thorp dan Smith (1949).
            Untuk memetaan tanah, menurut Baldwin et al. (1938) katagori yang terendah dipergunakan adalah seri da tipe. Waktu itu dikenal kurang lebih 2000 seri tanah di Amerika Serikat. Untuk menghilangkan gap antara seri dengan great group maka ditambahkan kategori famili oleh Thorp dan Smith (1949). Pada waktu dicoba memasukkan seri-seri yang telah ada ke dalam famili dan great group ternyata ditemukan kesulitan yang serius
            Salah satu kekurangannya utama dari sistem tersebut adalah tidak adanya definisi yang tepat terhadap sifat-sifat tanah dalam masing-masing kategori. Pada tahun 1951 akhirnya diputuskan untuk merubah seluruh sistem klasifikasi tanah tersebut dengan sistem yang baru.
            Sistem yang baru tersebut sekarang dikenal dengan sistem 7th Approximatio. Sistem ini dibuat atas dasar pengetahuan dan pengalaman selama 67 tahun survey tanah di Amerika Serikat. Merupakan sistem yang tepat (precise), sistematik dan logik. Konsep-konsep baru seperti pedon dan horison penciri (diagnotic horison) diperkenalkan. Definisi berbagai kategori (klas) dari tanah-tanah yang berbeda ditentukan dengan sifat-sifat tanah yang dapat diukur (facts) bukan oleh faktor pembentuk tanah (theory). Nama-nama baru telah disusun dengan menggunakan kata-kata Yunani atau Latin.
            Sistem ini telah menarik perhatian ahli-ahli tanah seluruh dunia. Rusia menanggapi 7 th Approximation dalam beberapa artikel pada Soviet Soil Science, Juni 1964. Soil Science, Juni 1964. Soil Science, 1963. Soil Science 1963, Vol. 96, Nomor 1, seluruhnya digunakan untuk menanggapi 7 th Approximation. Symposium mengenai 7th Approximation diterbitkan dalam proceeding of the American Soil Science 1963, Vol. 27, Nomor 2. Selain itu masih banyak tanggapan lain seperti tercantum pada daftar pustaka tulisan ini.
            Dengan demikian nyata bahwa sistem ini telah merangsang timbulnya diskusi-diskusi dan penelitian-penelitian baru.

1.2 KATEGORI
            Di dalam sistim ini dikenal 6 kategori yaitu : order, sub order, great group, sub-group, family dan serie yang disebut sistem kategori multiple. Kategori type (Thorp dan Smith, 1949) ditiadakan. Hal ini disebabkan karena tekstur lapisan atas (lapisan olah) yang digunakan sebagai faktor pembatas untuk type sering berubah-ubah karena banyak dipengaruhi faktor-faktor yang datangnya dari luar.
1. Order
            Order dibedakan atas sifat-sifat umum tanah yang menentukan pembentukan horison penciri. Menurut 7th Approximation (1960) dikenal 10 order yaitu :          Entisol, Vertisol, Inceptisol, Aridosol, Mollisol, Spodosol, Alfisol, Ultisol, Oxisol dan Histosol. Jumlah ini bertambah atau berkurang sesuai dengan hasil-hasil penyelidikan yang masih dilakukan.

2. Sub-Order
            Tiap-tiap order dibagi dalam sub-order yang masing-masing mempunyai keseragaman genetik yang lebih besar. Faktor pembatas terutama adalah faktor-faktor yang besar pengaruhnya terhadap sifat-sifat genetik tanah. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah ada tidaknya penggenangan, adanya iklim atau vegetasi, tekstur yang extrem (pasir), kadar allophan atau seskwioksida bebas yang menentukan arah dan kecepatan (derajat) perkembangan tanah.

3. Great Group
            Great group dari tiap-tiap sub order terutama ditentukan oleh tidaknya horison penciri serta sifat horison penciri tersebut. Bila dalam satu sub order horison penciri tidak berbeda, maka digunakan penciri lain. Horison penciri yang diambil adalah yang menunjukkan perbedaan utama tingkat perkembangan tanah dan yang berbeda jenisnya.
            Termasuk horison penciri adalah horison illuviasi (liat, besi, humus), horison permukaan yang tebal dan berwarna gelap, lapisan “pan” yang mempengaruhi perakaran dan pergerakan air dalam tanah dan horison anthropic yang terbentuk pada tanah-tanah yang digarap. Faktor-faktor di luar horison penciri yang digunakan sebagai pembatas bila horison tidak relevant antara lain adalah : self mulching, warna merah dan coklat tua pada tanah-tanah dari batuan basa, perbedaan kejenuhan basa yang besar, sifat pengerasan irreversible, bentuk-bentuk lidah horison eluviasi pada horison illuviasi dan suhu yang rendah. Tiap-tiap great group mempunyai horison penciri atau faktor-faktor penentu lain yang jenis dan sifatnya sama.

4. Subgroup
            Subgroup adalah sekumpulan tanah yang di samping memiliki sifat-sifat great groupnya memiliki pula sifat-sifat lain sebagai berikut :
  1. Memiliki sifat-sifat lain yang terdapat pada order, suborder great group dari golongan sendiri atau golongan lain.
  2. Memiliki sifat-sifat lain yang baru yang tidak terdapat pada order, suborder dan great group tersebut.

5. Famili
Famili adalah bagian dari subgroup berdasarkan atas sifasifat tanah yang penting bagi pertumbuhan tanaman. Pembagiannya untuk tiap-tiap subgroup berbeda-beda. Tiap-tiap famili mempunyai tata udara tanah, air tanah, “plant root relationship”, kadar unsur-unsur hara utama yang sama kecuali unsur N. Yang digunakan sebagai penentu adalah lapisan di bawah lapisan oleh atau yang sama dalamnya. Faktor pembedanya adalah tekstur, ketebalan horison, susunan (keadaan) mineral, kemasaman, konsistensi dan permeabilitas. Faktor-faktor tersebut adalah faktor-faktor yang dianggap relatif tidak mudah berubah, dan pada waktu ini tidak masih diuji apakah semuanya dapat memenuhi syarat yang diperlukan untuk menentukan famili, kemasaman tanah sebenarnya kurang memenuhi syarat, tetapi mudah diukur dan kadang-kadang merupakan satu-satunya sifat yang dapat digunakan untuk membeda-bedakan subgroup dengan baik terutama pada tanah-tanah yang selalu tegenang atau tanah-tanah daerah dataran banjir (flood plain yang tidak mempunyai perkembangan horison.

5.      Seri
Seri adalah sekumpulan tanah yang mempunyai sifat-sifat dan susunan horison yang sama terutama di bagian bawah lapisan olah. Suatu seri tanah dapat mempunyai perbedaan-perbedaan lereng, tingkat erosi, sifat-sifat lapisan olah dan lain-lain selama faktor-faktor tersebut tidak menyebabkan perbedaan sifat dan susunan horison di bawahnya. Tanah di lapisan atas (lapisan olah) tidak digunakan sebagai faktor penentu karena sering mengalami perubahan sifat.
            Sifat-sifat tanah yang digunakan untuk menentukan seri tanah dapat dipilih dari beberapa sifat belum di bawah lapisan olah tersebut misalnya tekstur, drainase (permeabilitas), mineralogi tanah, tanah, tebal horison, konsistensi, struktur, kemasaman tanah dan sebagainya. Yang biasa digunakan adalah kombinasi antara beberapa sifat tersebut. 

Daftar Pustaka
Buol, S.W; F.D. Hole, and R.J. Mc.Cracken. 1980. Soil Genesis and Classification. The IOWA State University Press, Ames.

Hardjowigeno, S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. CV. Akademika Pressindo, Jakarta.

Soil Survey Staff,. 1998. Keys to Soil Taxonomy. USDA. SCS. Sixth Edition.

SISTEM KLASIFIKASI TANAH FAO/UNESCO


 SISTEM KLASIFIKASI TANAH FAO/UNESCO

 Sistem klasifikasi tanah ini dibuat dalam rangka pembuatan peta tanah dunia dengan skala 1 : 5.000.000. Peta tanah ini terdiri dari 12 peta tanah. Sistem ini terdiri dari 2 kategori. Kategori pertama setara dengan great soil group, dan kategori kedua setara dengan sub group dalam Taksonomi Tanah (USDA).
            Untuk pengklasifikasian, digunakan horison-horison penciri yang sebagian diambil dari kriteria-kriteria horison penciri pada Taksonomi Tanah dan sebagian dari sistem klasifikasi tanah ini. Nama-nama tanah diambil dari nama-nama tanah klasik yang sudah terkenal dari Rusia, eropa barat, Kanada, Amerika Serikat dan beberapa nama baru yang khusus dikembangkan untuk tujuan ini. Tampaknya dari nama-nama tanah tersebut bahwa sistem ini merupakan komromi dari berbagai sistem dengan tujuan agar diterima oleh semua pakar di dunia.
            Beberapa nama dan sifat tanah dalam kategori “great group” menurut sistem FAO/UNESCO sebagai berikut :
Fluvisol           : Tanah-tanah berasal dari endapan baru, hanya mempunyai horison
penciri ochrik, umbrik, histik atau sulfurik, bahan organik menurun tidak teratur dengan kedalaman, berlapis-lapis.
Gleysol            : Tanah dengan sifat-sifat hidromorfik (dipengaruhi air sehingga
berwarna  kelabu, gley dan lain-lain), hanya mempunyai epipedon ochrik, histik,  horison kambik, kalsik atau gipsik.
Regosol           : Tanah yang hanya mempunyai epipedon ochrik. Tidak termasuk
bahan endapan baru, tidak menunjukkan sifat-sifat hidromorfik, tidak bersifat mengembang dan mengkerut, tidak didominasi bahan amorf. Bila bertekstur pasir, tidak memenuhi syarat untuk Arenosol.
Lithosol           : Tanah yang tebalnya hanya 10 cm atau kurang, di bawahnya terdapat
                          lapisan batuan yang padu.
Arenosol          : Tanah dengan tekstur kasar (pasir), terdiri dari bahan albik yang terdapat pada kedalaman 50 cm atau lebih, mempunyai sifat-sifat sebagai horison argilik, kambik atau oksik, tetapi tidak memenuhi syarat karena tekstur yang kasar tersebut. Tidak mempunyai horison penciri lain kecuali epipedon ochrik. Tidak terdapat sifat hidromorfik, tidak berkadar garam tinggi.
Rendzina         : Tanah dengan epipedon mollik yang terdapat langsung di atas batuan
                          kapur.
Ranker             : Tanah dengan epipedon umbrik yang tebalnya kurang dari 25 cm. Tidak ada horison penciri lain.
Andosol          : Tanah dengan epipedon mollik atau umbrik atau ochrik dan horison
                          kambik, serta mempunyai bulk density kurang dari 0,85 g/cc dan
                          didominasi bahan amorf, atau lebih dari 60 % terdiri dari bahan vulkanik vitrik, cinder, atau pyroklastik vitrik yang lain.
Vertisol           : Tanah dengan kandungan liat 30 % atau lebih, mempunyai sifat
                          mengembang dan mengkerut. Kalau kering tanah menjadi keras, dan
                          retak-retak karena mengkerut, kalau basah mengembang dan lengket.
Solonet            : Tanah dengan horison natrik. Tidak mempunyai horison albik dengan
                          sifat-sifat hidromorfik dan tidak terdapat perubahan tekstur yang tiba-
                          tiba.
Yermosol         : Tanah yang terdapat di daerah beriklim arid (sangat kering), mempunyai epipedon ochrik yang sangat lemah, dan horison kambik, argilik, kalsik atau gipsik.
Xerolsol           : Seperti Yermosol tetapi epipedon ochrik sedikit lebih berkembang.
Kastanozem    : Tanah dengan epipedon mollik berwarna coklat (kroma > 2), tebal 15 cm  atau lebih, horison kalsik atau gipsik atau horison yang banyak
                          mengandung bahan kapur halus.
Chernozem      : Tanah dengan epipedon mollik berwarna hitam (kroma < 2) yang
                          tebalnya 15 cm atau lebih. Sdifat-sifat lain seperti Kastanozem.
Phaeozem        : Tanah dengan epipedon mollik, tidak mempunyai horison kalsik,
gipsik, tidak mempunyai horison yang banyak mengandung kapur halus.
Greyzem           : Tanah dengan epipedon mollik yang berwarna hitam (kroma < 2), tebal 15 cm atau lebih, terdapat selaput (bleached coating) pada permukaan
                          struktur tanah.
Cambisol           : Tanah dengan horison kambik dan epipedon ochrik atau umbrik, horison kalsik atau gipsik. Horison kambik mungkin tidak ada bila mempunyai
                          epipedon umbrik yang tebalnya lebih dari 25 cm.
Luvisol            : Tanah dengan horison argillik dan mempunyai KB 50 % atau lebih.
                          Tidak mempunyai epipedon mollik.
Podzoluvisol   : Tanah dengan horison argillik, dan batas horison eluviasi dengan
                          Horison di bawahnya terputus-putus (terdapat lidah-lidah horison eluviasi = tonguing).
Podsol             : Tanah dengan horison spodik. Biasanya dengan horison albik.
Planosol           : Tanah dengan horison albik di atas horison yang mempunyai
                          permeabilitas lambat misalnya horison argillik atau natrik dengan
                          perubahan tekstur yang tiba-tiba, lapisan liat berat, atau fragipan.
                          Menunjukkan sifat hidromorfik paling sedikit pada sebagian horison
                          albik.
Acrisol             : Tanah dengan horison argillik dan mempunyai KB kurang dari 50 %.
                          Tidak terdapat epipedon mollik.
Nitosol               : Tanah dengan horison argillik, dan kandungan liat tidak menurun lebih dari 20 % pada horison-horison di daerah horison penimbunan liat maksimum. Tidak terdapat epipedon mollik.
Ferrasol           : Tanah dengan horison oksik, KTK (NH4Cl) lebih 1,5 me/100 g liat.
                          Tidak terdapat epipedon umbrik.
Histosol           : Tanah dengan epipedon histik yang tebalnya 40 cm atau lebih.
                       
Dalam tingkat sub group nama tanah terdiri dari dua patah kata seeprti halnya sistem Taksonomi Tanah, dimana kata kedua menunjukkan nama great group, sedangkan kata pertama menunjukkan sifat utama dari sub group tersebut.
Contoh :
Great group     : Fluvisol
Sub group        : Claseric Fulvisol

Great group     : Regosol
Sub group        : Humic Regosol


Daftar Pustaka
Buol, S.W; F.D. Hole, and R.J. Mc.Cracken. 1980. Soil Genesis and Classification. The IOWA State University Press, Ames.

Driessen, P.M and R. Dudal. 1989.1Major Soil of the World. Agricultural University Wageningen. Amsterdam.

Hardjowigeno, S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. CV. Akademika Pressindo, Jakarta.

Sejarah Perkembangan Klasifikasi tanah


Sejarah Perkembangan Klasifikasi tanah
Suatu klasifikasi tanah telah ddiasalkan pada tahun 1887 oleh seorang ahli tanah Rusia yang bernama Dokuchaev. Dokuchaev  adalah orang pertama yang mengembangkan sistem klasifikasi tanah di dunia, oleh karena itu Dokuchaev dianggap sebagai Bapak Ilmu Tanah.
Dari daratan Rusia selanjutnya klasifikasi tanah berkembang ke Eropa dan Amerika serta negara-negara lain di dunia. Di Eropa, khususnya di Jerman, klasifikasi tanah dikembangkan oleh Glinka, kemudian baru dikembangkan di Amerika Serikat. Sistem klasifikasi yang dikembangkan berdasarkan teori bahwa setiap jenis tanah mempunyai maxfologi tertentu atau mempunyai ciri dan sifat tertentu yang dihubungkan pada kombinasi faktor-faktor pembentuk tanah. Sistem klasifikasi itu berkembang di Amerika Serikat (USA) pada tahun 1949 dan sering disebut sistem klasifikasi tanah tersebut yang pertama dipergunakan di Amerika Serikat hingga tahun 1969.
Pada tahun 1960 Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) memperkenalkan sistem klasifikasi tanah yang baru yang disebut “Comprehensive System”. Sistem klasifikasi tanah ini lebih banyak menekankan pada morfologi dan kurang menekankan pada faktor-faktor pemebtuk tanah dibandingkan dengan sistem klasifikasi tanah di luar Eropa dan Amerika Serikat, termasuk Indonesia dan di Indonesia sistem klasifikasi tanah berkembang pada dua dekade yaitu dekade jaman penjajah Belanda dan dekade setelah merdeka.
Pada jaman penjajah Belanda, sistem klasifikasi tanah pertama kali dikenalkan oleh Van Mohr pada tahun 1910. Klasifikasi tanah ini didasarkan pada kombinasi macam-macam bahan induk dan proses pelapukannya yang ditekankan pada intensitas pencucian (leaching) dalam hubungannya dengan pengaruh iklim. Pada tahun berikutnya White (1933) mulai mengumpulkan data-data Mohr dan menyusun sistem klasifikasi tanah yang baru. Druif (1936) menyusun sistem klasifikasi tanah yang baru untuk tanah di sekitar Deli (Sumatera) berdasarkan atas petrografi dan mineralogi. Pada jaman kemerdekaan yang dimulai oleh Vander Voort, Van Es dan Hoontjes (1951), menggolongkan tanah berdasarkan aats dasar geomorfologi. Selanjutnya Dames (1955) melakukan penelitian tipe-tipe tanah di Jawa. Sistem klasifikasi tanah yang lain yang didasarkan atas genesis tanah dan morfologi tanah makinberkembang di Indonesia. Berikutnya sistem klasifikasi tanah yang sering digunakan adalah sistem klasifikasi tanah PPT Bogor, FAO/UNESCO dan Taksonomi. 

Pengertian Konsistensi Tanah


Konsistensi Tanah
Konsistensi tanah adalah derajat kohesi dan adhesi di antara partikel-partikel tanah dan ketahanan massa tanah terdapat perubahan bentuk oleh tekanan dan berbagai kekuatan yang mempengaruhi bentuk tanah.
Konsistensi tanah ditentukan oleh tekstur dan struktur tanah. Pentingnya konsistensi tanah adalah untuk menentukan cara penggrapan tanah yang efisien dan penetrasi akar tanaman di lapisan tanah bawahan.
Penentuan konsistensi tanah harus disesuaikan dengan kandungan air tanah yaitu dalam keadaan basah, lembab atau kering.
Tanah basah : Kandungan air di atas kapasitas lapang.
a.       Kelekatan menunjukkan kekuatan adhesi (melekat) tanah dengan benda lain.
Kode
Krietria
Keterangan
0
Tidak lekat
Tidak melekat pada jari tangan atau benda lain
1
Agak lekat
Sedikit melekat pada jari tangan atau benda lain
2
Lekat  
Melekat pada jari tangan atau benda lain
3
Sangat lekat
Sangat melekat pada jari tangan atau benda lain

b. Plastisitas menunjukkan kemampuan tanah membentuk gulungan.
Kode
Krietria
Keterangan
0
Tidak plastis
Tidak dapat membentuk gulungan tanah
1
Agak plastis
Hanya gulungan tanah kurang dari 1 cm da berbentuk.
2
Plastis
Dapat membentuk gulungan tanah lebih 1 cm,
diperlukan sedikit tekanan untuk merusak gulungan tersebut.
3
Sangat plastis
Diperlukan tekanan besar untuk merusak gulungan tersebut
Tanah lembab : Kandungan air mendekati kapasitas lapang.
0 – Lepas                           - Tanah tidak melekat satu sama lain (misalnya
                                             tanah pasir).
1 – Sangat gembur            - Gumpalan tanah mudah sekali hancur bila
                                             diremas.
2 – Gembur                       - Diperlukan sedikit tekanan untuk menghancurkan
                                            gumpalan tanah dengan meremas.
3 – Teguh                          - Berturut-turut memerlukan tekanan yang makin
   besar untuk menghancurkan tanah sampai sama
   tidak dapat hancur dengan remasan tangan.
4 – sangat teguh )
5 – Sangat teguh )
      sekali
Tanah kering : Tanah dalam kedaan kering angin.
0 – Lepas                           - Tanah tidak melekat satu sama lain.
1 – Lunak                          - Gumpalan tanah mudah hancur bila diremas.
2 – Agak keras )                - Berturut-turut memerlukan tekstur
3 – Keras )                            yang makin besar untuk menghancurkan
4 – Sangat keras )                 tanah sampai tidak dapat hancur
5 – Sangat keras )                 dengan remasan kedua tangan.
    sekali